Laman

Jumat, 04 Maret 2011

ADAT






A D A T
Aturan & Dasar Alek Tradisional
Oleh : Shaff Ra Alisyahbana

( 1 ) BARALEK

Adat yang juga merupakan Aturan & Dasar dalam Alek Tradisional sesuai dengan arti dari adat itu sendiri yaitu tidak tertulis, tetapi suatu kebiasaan yang dilakukan secara turun temuran yang mengalami pelaksanaan tambah dan kurang sesuai dengan sikon.
Kalau di ikuti semua Aturan & Dasar dalam Alek Tradisional ( Baralek ), sungguh sangat banyak sekali dan sesuai dengan aturan yang datang dari kerajaan.
Kadang, adat alami bisa saja berobah seperti “ adat taluok timbunan kapa , adat bukik timbunan ambun, adat lurah rimbunan ayie “ dll.
Ada saatnya teluk tak berkapal,bukit tak berembun dan lembah tak berair.
Dalam acara Alek Tradisional ( Baralek ) banyak terdapat aturan baru dengan dasar Islami seperti acara “ mandi tigo, ba lapeh-lapeh, ba upah-upah, minum kopi, manjalang, tiduo di tampek, manggote “ boleh dikatakan tidak ada lagi dilaksanakan, karena saat sekarang ini,adat dipakai sesuka hati sesuai dengan selera dan kemampuan dan memperhitungkan agar mendatangkan untung.
Kalaulah dulu acara “ Jamba Anyuik “ adalah teruntuk para pekerja dengan masakan tradisi seperti “ gulai paku/pisang mudo /cubadak paranca lokan “ atau “ gorieng lauok masiek “, tetapi kini berobah dan hilang menjadi “ gulei kabuo/jawi/kambing “, “ randang lokan “, “ gorieng udang “, sebab yang datang bukan para pekerja lagi, tetapi orang yang diundang kian dengan suguhan “ Jamba Adat “ itu. Kenapa tidak ?? Acara “ Jamba Anyuik “ terpaksa dilayani dengan baik dan bagus, karena setelah selesai makan para undangan akan bersalaman dengan gumpalan uang kertas rupiah dalam genggaman beralih tempat ke saku yang di salami undangan. Jamba Anyuik yang tidak beradat itu dapat memberikan keuntungan kepada yang Baralek dan demikian juga di dalam acara resepsi yang disebut “ Bakibot “ itu dengan pemberian kado dari undangan. Pantas saja ada orang yang baru saja Baralek berciloteh “ Pulang Pokok “ atau “ Baruntuong Gale “.
Kadang terasa aneh juga dimana yang datang dalam acara “ Jamba Adat “ atau “ Makan Baradat “ itu hanya dihadiri oleh orang-orang tua “ menunggu waktu “, alim ulama, cerdik pandai tanpa pemberian dalam salam dengan jumlah dapat dihitung dengan jari. Karena adat bukan menghendaki “ paragie “, sedangkan yang datang untuk “ baragie “, maka mereka datang ketika acara “ Jamba Anyuik “ yang bukan lagi merupakan acara adat. Terkadang ada juga yang tidak melaksanakan acara adat itu karena tidak menguntungkan seperti “ makan baradat “ dan “ malam badendang “.

Adat tidak membebankan kepada orang banyak atas pelaksanaan acara Baralek walaupun itu sifatnya “ paragie “, tetapi menetapkan “ tanggung jawab berkaum famili “, sebab adat alami mengatakan “ nan angek di dakek tungku , nan dingin di dakek ayie “. Biaya Baralek di tanggung bersama dalam satu kaum itu sendiri dan dengan demikian makanya ada “ Pakat Sakoum “, yaitu orang yang berada dalam perkauman, baik yang satu peranakan (Sanak),sumando satu peranakan (Dosanak) maupun banyak sumando satu peranakan (Badosanak). Didalam pakat sakoum, ada yang menyediakan satu ekor kambing, satu goni beras,satu goni kelapa,satu goni cubadak dll.sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian pelaksanaan acara Baralek memakai adat penuh sesuai dengan Aturan & Dasar Alek Tradisional (ADAT) Ranah Nata. Pelaksanaannya pun memakai system mengirit seperti ” Jamba Anyuik “ yang merupakan “ dari koum ka koum “ dan tidak malu memberikan “ gulei tradisional “ dan para pekerja tidak gengsi memakan “ gulei tradisional “ karena itulah kemampuannya “ dari koum untuk koum “ itu. Makanya pada zaman dahulu ada “ Alek Randam “ yaitu kumpul bersama Sanak, Dosanak dan Badosanak untuk menghadapi segala sesuatunya agar pelaksanaan Baralek sanak famili itu tidak mengecewakan para undangan. Alek sekarang hanya mencari keuntungan semata, sebab dahulu petitih berkata “ Baralek karano lai “ dan bukan mengharapkan “ Paragie Urang Banyak “, jiran tetangga, kawan sekerja, teman sejawat, konco serantau dan sobat sapagaulan. Terserah…


( 2 ) PUAH MAMAK
Lambang Kebesaran dan Perasaan

Puah adalah sejenis tumbuhan sebangsa umbi-umbian tapi berbatang tinggi dan berdaun sama bentuknya dengan langkueh (lengkuas),sipade(jahe) dan kunik (kunyit). Makanya dikatakan Puah Mamak, karena potongan batangnya sepanjang 1 meter itu pada ujungnya dihancurkan sehingga seperti kuas. Keadaan tersebut di Ranah Nata disebut “ mamak / mumuk “.
Puah Mamak adalah sebagai pelambang kebesaran dan perasaan bagi yang membuat Paragat Puah Mamak tersebut, baik Baralek maupun Kematian dengan perbedaan cara memasangnya. Jika dalam acara Baralek, maka bari san puah mamak pada bagian belakang dan bendera condong keluar dan untuk acara kematian, puah mamak dibagian dalam dan bendera condong keluar. Adapun Paragat Puah Mamak itu terdiri dari ;
1. Puah Mamak sebanyak 7 potong yang melambangkan perasaan mamak/hancur. Dalam Baralek, hancurnya perasaan orang banyak, sebab sang anak berpisah dengan orangtuanya, sedangkan dalam ke matian hancurnya perasaan orangtua/suami/isteri atas meninggalnya salah seorang keluarga mereka.
2. Jerek Samato atau Jerek Bundo Kanduong sebanyak 7 buah yaitu suatu tanda pemikat kepada yang memandangnya agar terpikat untuk saling membantu ter hadap orang yang mengadakan acara Baralek dan yang ditimpa musi bah.
3. Bendera 7 helai yang terdiri dari 1 helai bendera Ula-ula ,pelambang kebesaran Rajo, 2 helai bendera batik sebagai kebesaran Dubalang, 2 helai kain batik sebagai pelambang kebesaran Panglimo dan 2 helai lagi sebagai pelambang kebesaran Dayang dan Panginang/Pengasuh.
4. Kain Songket 7 helai sebagai pelambang banyaknya etnis penghuni Ranah Nata ( 7 etnis ).
5. Perisai sebagai pelambang pertahanan.
6. Pedang 2 buah sebagai pelambang ketangkasan.
7. Kabou-kabou yang terbuat dari pelepah kelapa sebagai pelambang kesejahteraan. Dilengkapi dengan alat kesenian seperti canang,agung, talempong dan gendang muka satu (rebbana).

Ketika selesai acara “ Mamancak “ dilanjutkan dengan acara “ Badampieng “, diringi dengan pemukulan canang,agung,talempong dan gendang rebbana dengan irama khusus untuk itu. Sekarang, pemakaian/ pemasangan Puah Mamak hanya ada dibagian mudik dan hilir ibukota Ranah Nata yang di ibaratkan bagai “ Jantuong Pisang “ dan “ Tajang Anou “

Tidak ada komentar:

Posting Komentar