Laman

Minggu, 27 Februari 2011

TAHUN, RIWAYAT & KHABAR ( TARIKH ).


TARIKH
TAHUN RIWAYAT DAN KHABAR
Oleh : Shaff Ra Alisyahbana

Salah satu Kota Tua yang terkenal namanya sekarang adalah Natal yang telah diresmikan oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tahun 1946 waktu Asisten Wedananya H.Sjariful Alamsjah (Sibolga) *16 yang diwariskan oleh kolonial sejak tahun 1492 –1496.*13 Kemudian dinamakan oleh bangsa Portugis tahun 1525.*13,oleh Inggeris tahun 1672 .*01  dan tahun 1762 oleh Belanda .*13  serta Jepang ditahun 1942 dengan nama Nataru.
Selama 421 tahun diabadikan oleh kolonial dan dilanjutkan oleh Pemerintah selama 54 tahun yang berjumlah 475 tahun sudah , sedangkan masyarakat adat Ranah Nata sudah 1 Alaf (1000 tahun) .*21  lamanya menamakan tanah ulayat nenek moyangnya dengan nama Ranah Nata. Tak ada seorangpun masyarakat adat Ranah Nata yang menambah huruf el (L) atau er (R) atas nama kampung halamannya itu kecuali masyarakat yang manda atau pendatang ke Ranah Nata.
          Sebenarnya , namanya adalah Ranah Nata yang dinamakan oleh saudagar Arab Ibnu Bathuthah pada abad ke – 7 atau tahun 1325 – 1350 .*02, sewaktu mereka singgah dari sebuah ranah yang mereka buka untuk lokasi penggergajian kayu yang mereka namakan Sing Kwang atau Tanah Baru .*21. Sewaktu beliau singgah,pada waktu itu terjadi acara hukuman terhadap seorang terhukum dengan cara didera diatas sebuah bukit kecil yang sekarang bernama Bukik Bandera. Sebenarnya adalah Bukit Mandera yaitu bukit tempat mendera .*13. Karena keterharuan Ibnu Bathuthah mendengar suara jeritan dari seseorang yang berasal dari sebuah bukit kecil itu, lalu beliau menamakannya Ranah Nata.
Ranah Nata berasal dari dua kata bahasa Arab yaitu Ranah  *14  dan  Nata *14  .
Ranah artinya “ Jeritan “.*14 , sedangkan Nata atinya “ Bukit Kecil “.*14  dan untuk   lebih   jelasnya  buka buku Qamus  Al- Idris   Marbawiy  halaman 251 dan 298 oleh Syekh Muhammad Idris al- Marbawiy al-Azhari , terbitan CV.Karya Insani Indonesia. Nama Ranah Nata  kemudian diperkuat oleh Datuk Imam dan Pangeran Indra Sutan yang datang ke Ranah Nata di abad ke 17 dengan mendirikan Kerajaan Ranah Nata di Malako yang berpusat di Padang Malako .13.
         Kita sama mengetahui bahwa pada zaman dulu perhubungan adalah melalui laut dan untuk itu mereka masuk ke Ranah Nata dari Air Bangis dan Indrapura dengan memasuki Kuala Tuo mengharungi sungai Batangnata. .*13  Mereka singgah di sebuah tempat yang bernama Tanjung Bungo untuk melepaskan lelah dan shalat Zhuhur. Setelah mereka makan dan sambil istirahat, Datuk Imam melantunkan sebuah pantun yang berbunyi :

Daun pauoh daun barambang ,
Bungo tanjuong di padeta
Dari jauoh kito datang ,
Sampei ka kampuong Ranah Nata.

kemudian Pangeran Indra Sutan menjawabnya dengan sebuah pantun pula yaitu :

Laweh lauiknyo Ranah Nata ,
Alang lauik manyembah ikan
Lapeh ensuik duduok basanda ,
Kanyang paruik sasudah makan

 Acara berbalas pantun ini dimeriahkan oleh Puti Rani dan Puti Ratiah yang ikut bersama mereka dengan membawa sebatang aur duri, sebatang pinang, sebungkal tanah, setagik air dan seekor anak buaya sambil menuju sebuah biduk tambangan yang bernama Ajung. Setelah mereka melanjutkan perjalanan , mereka singgah dan menambatkan ajung mereka dimudik sungai Pinang sambil melihat kemana arah tujuan akan mendirikan sebuah pemukiman mereka. Lebih kurang 400 meter dari persinggahan mereka, lalu meninggalkan tempat tambatan ajung tersebut yang kemudian dinamakan Labuhan Ajung , menuju sebuah tempat ulayat padang yang luas dan dinamakan mereka Padang Malako.
Sewaktu kedatangan mereka, jauh sebelumnya dibagian ranah tepi pantai sudah ada orang-orang Bugis sekitar  tahun + 900 dizaman Nabi Sulaiman As,sedangkan bagian pedala mannya dihuni oleh orang Batak (baca Mandailing ) *21 
         Sesudah kedatangan Ibnu Bathuthah, pada tahun 1412 didatangi pula oleh Syekh Maghribi Maulana Malik Ibrahim dan disusul oleh saudagar China H.Sham Poboo pada tahun 1416 dan tahun 1513  mendirikan penggergajian kayu di Singkuang.
Kembali orang-orang  Si Patokah datang untuk kedua kalinya di tahun 1525 dan pada saat inilah mereka namakan Ranah Nata menjadi Natal karena pelabuhan serta pemandangannya mirip dengan Natal yang berada di Propvinsi Durban Afrika Selatan dan juga Natal yang ada di Amerika Selatan.
Satu –satunya peninggalan sejarah dari Ibnu Bathuthah adalah masuknya Agama Islam ke Ranah Nata bersamaan waktunya dengan masuknya Agama Islam ke Tanah Fansyuri di Barus dan nama Ranah Nata yang diberikan oleh Ibnu Bathuthah untuk mengenang kisah hukuman yang terjadi di Bukik Bandera
Berbicara masalah nama Bukik Bandera, selain dari kisah terhukum tersebut diatas, ada dua versi lainnya yaitu :

  1. Bukit Bendera yang berasal dari cerita masuknya H.Sham Poboo ke Singkuang tahun 1513, dimana sewaktu beliau singgah ke Ranah Nata dan hendak memasuki Kualo Tuo , mereka melihat sebuah bendera berwarna putih, berkibar diatas sebuah bukit sebagai pertanda bahwa mereka tidak dibenarkan untuk memasuki Ranah Nata.
  2. Bukit Bendera yang berasal dari Gugung (bukit kecil), dimana pada tempat tersebut tumbuh sebatang pohon durian di Simpang Gugung dan di puncaknya dipasang sebuah bendera putih, sedangkan di puncak Bukik Bandera dipasang sebuah tonggak atau tiang berwarna merah. Perbuatan ini adalah untuk membuka jalan lurus ke daerah pesisir pantai dari puncak Bukik Bandera ke Gugung.dan untuk itulah makanya jalan Mandailing Nata terdapat jalan lurus di tanah ulayat Perlak Talas Kampung Sawah yang dibangun oleh Alexander Philips Godon pada tahun 1848 bersama Yang Dipertuan Huta Siantar yang peresmian pembangunan jalan ini diresmikan oleh Jenderal van Switen pada tahun 1851 dan pada waktu inilah masuknya orang Melayu di daerah pesisir pantai dibawah pemerintahan kontler KJ.Jellinghaus dan kemudian digantikan oleh AW. Van Ophuysen si tokoh bahasa Melayu Indonesia pada tahun 1852.
  3. Adapun peninggalan sejarah dari bangsa China adalah nama Singkuang dan Kunkun. Disebabkan         mereka membuka pemukiman baru pengger gajian kayu dihutan Singkuang Ranah Nata, maka tempat tersebut dinamakan Sing Kwang yang berarti Tanah Baru. Sedangkan tempat peristirahatan mereka         disuatu tempat bermain-main yang dalam bahasa China dinamakan Kun – kun yang berarti berleha - leha.
Mengenai Ulayat Ranah Nata atau yang disebut Ranah Nata itu secara geografis,terdapat beberapa istilah antara lain yaitu ;
1.      “ Dari lambah Sorik Marapi inggo ka tapi ombak nan badabuoh “  yang di Indonesiakan berarti dari lembah Sorik Merapi ( Batangnata ) sampai ketepi ombak yang berdebur          ( Pesisirbarat ). Jadi, yang termasuk dalam “ Lembah Sorik Merapi “ adalah Kecamatan Batangnata, Linggobayu dan Rantobaek , sedangkan yang termasuk dalam “ Ombak yang berdebur “ adalah Kecamatan Nata, Batahan , Muara Batanggadis dan Sinunukan.
2.      “ Diantaro Batu Nan Ampek “ yang di Indonesiakan berarti di antara batu yang empat. Yang dimaksud dengan “ Batu Nan Ampek “ adalah sebagai berikut ;
a.       Batu Bakuduong yaitu sebuah batu yang pontong. Batu ini mewakili pesisir pantai bagian Tenggara yang termasuk dalam ulayat Kecamatan Batahan. Kenapa dikatakan Batu Bakuduong ? Hal ini mengingatkan kisah penetapan Sisi Pancang Kedaulatan  ( Sipadan ) untuk Daerah Tugas Kerajaan ( Datuk ) antara Kerajaan Batahan dengan Kerajaan Air Bangis yang merupakan batas antara Sumatera Utara dengan Sumatera Barat. Dalam hal ini ada istilah yaitu “ dari durian di takuok Rajo inggo ka bukik nan indak ba acek “ yaitu mulai dari batang durian yang dipatuk oleh Raja sampai ke bukit yang tidak berpacat.
b.      Batu Mundam yaitu sebuah batu yang berbentuk batok kelapa atau tempurung yang terdapat di pesisir pantai bagian Barat Laut di Kecamatan Muara Batanggadis (Mubadis) yang juga mempunyai legenda dalam cerita Puti Berambang Sari, yaitu legenda tentang asal usul nama-nama tempat di sepanjang pantai,mulai dari Batu Bakuduong sampai  ke Batu Mundam  yaitu berasal dari sebuah timba tempu rung kelapa yang dipakai oleh Puti Berambang Sari sewaktu dikejar Rajo Biluluok yang melarikan diri bersama suaminya dan lalu karam di Samudera Indonesia.

c.       Batu Sondat yaitu sebuah nama tempat yang berada dibagian pedalaman Kerajaan Batahan yang merupakan tapal batas dibagian pedalaman dipenjuru bagian Timur Laut.

d.      Batu Gajah yaitu sebuah tempat di Kerajaan Lubu yang dirikan oleh Raja Angkola Si Hitam Lidah terdapat di Simpang Talam , pedalaman bagian Timur Ranah Nata yang termasuk dalam Kecamatan Batangnata.
3.      “ Diantaro Batang nan Ampek “ yaitu di dalam aliran sungai yang empat yaitu ;
a.       Batang Batahan yaitu alur perhubungan Kerajaan Batahan yang di dirikan oleh Sutan Rangkayo Majo Dirajo tahun 1711 yang datang dari Indopuro, Ujung Gading
Ibukota kerajaan di Kampuong Godang Sopobolo.
b.      Batang Nata yaitu alur perhubungan Kerajaan Ranah Nata dan Kerajaan Linggo bayu. Kerajaan Ranah Nata didirikan oleh Datuk Imam tahun 1700 dari Air Bangis bersama Pangeran Indra Sutan dari Indopuro berkedudukan di Padang Malako dan kemudian pindah ke Kampuong Bukik. Adapun Kerajaan Linggobayu adalah peme karan dari Kerajaan Ranah Nata yang didirikan oleh Pangeran Indra Sutan yang beribu kota di Simpang Bajambah.
c.       Batang Kunkun yaitu alur perhubungan Kerajaan Kinondom yang didirikan oleh Sutan Tiansyah dari Bengkulu yang berkedudukan di Simpang Sao, kemudian pin dah ke Bintuas.
d.      Batang Gadih yaitu alur perhubungan Kerajaan Singkuang yang didirikan oleh Raja Merangkat berkedudukan di Singkuang Kecamatan Mubadis.
Setelah berdirinya beberapa Kerajaan dan juga kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Sinunukan , Batumundam , Tabuyung dan Simpang Sodang, maka penduduk Ranah Nata terdi ri dari berbagai etnis antara lain Aceh, Minang ,Rao ,Bugis ,Bengkulu ,Palembang ,Indopuro , Kalimantan , Nias dan China .

Dalam hal ini , Anak Muda Ranah Nata berhimpun untuk menata Seni dan Budaya yang mereka bawa dari daerah asalnya masing –masing yang di prakarsai oleh Ahmeed Sharkhani Hindustani dan Si Tiuk dari pihak Kerajaan dan peragaan pertama dilaksanakan sewaktu penobatan Raja Marah Ahmad Tuanku Pansiun tahun 1886 dalam tarian “ Tari Salapan “ yang merupakan tari persa tuan, kemenangan,kegembiraan dan ketrampilan. Kenapa tidak ! Didalam tari Salapan terdapat lagu-lagu Sampaya ( Melayu ), Kaparinyo ( Minang ), Kotobaru ( Kalimantan ) dan lain – lain.

Perangkat tari terdiri dari delapan untai kain panjang berwarna yang melambangkan kasih sayang yang merupakan perwakilan masing-masing suku etnis yang delapan suku yaitu (1) Aceh (2) Minang (3) Bugis (4) Rao (5) Indopuro (7) Bengkulu   (8) Palembang. Dari segi ketrampilan dimana menjalin dan membuka jalinan tali yang dijalin sambil menari
itu merupakan pelambang ikatan persatuan yang dijalin dalam aneka warna ( suku atau etnis/ daerah ) disatukan di Ranah Nata. Tari Salapan diawali dengan irama pallakam dan ditutup dengan irama plancer madam.
Pada tahun 1610 , Ranah Nata dibawah kekuasaan penuh oleh Aceh , sedangkan dari Pariaman datang pula Syekh Burhanuddin III.
Maka dengan demikian terjadilah pengembangan perkampungan, seperti Banjar Agam dan Jambuo Rao yang mayoritas penduduknya orang Minangkabau, Banjar Aceh dan Jambuo Aceh yang mayoritas penduduknya orang Aceh dan salah seorang Ulama Aceh bermakam di Jirat Malako bernama Teuku Umar Hasyim. Sedangkan orang Bengkulu menghuni Kinondom dan para pejuangnya bermakam di Lubuok Kase, dimana batu nisannya batu berbentuk  balok yang sebahagian sudah dibongkar karena pengaruh mimpi Porkas atau SDSB.
Demikian juga makam orang Ulando ( Belanda ) di Simpang Bada nyuik yang dulunya adalah lahan perumahan Hulubalang Raja Kerajaan Ranah Nata. Antara lain yang bisa penulis catat tanggal meninggalnya seperti Yohanna Petronella (1866 ), Pieter Mijer (1874) dan Pieter Leonard (1880 ). Sedangkan pemakaman orang Anggarei ( Inggris ) terdapat disamping rumah Dewan Nata H.Sutan Chaidir di Pasar Benteng yang sudah jadi pemukiman rumah penduduk.
Dalam menata sistem Pemerintahan Kerajaan , maka dibentuklan Kepala-kepala suku yang ada di Ranah Nata yaitu ;
1.      Suku Aceh dengan Kepala Suku Datuk Ketek yang memimpin masyarakat yang berasal dari
Dari Tanah Rencong atau Aceh
2.      Suku Rao dengan Kepala Suku Datuk Pangulu Panjang yang memimpin masyarakat yang berasal dari Mandailing dan perkawinan campuran Mandailing dengan Ranah Minang atau Minangkabau.
3.      Suku Minang dengan Kepala Suku Datuk Sinaro  yang memimpin masyarakat yang berasal dari Ranah Minang atau Minangkabau
4.      Suku Bandar X dengan Kepala Suku Datuk Mudo yang memimpin masyarakat yang berasal dari Pulau-pulau bagian Utara dan Barat Laut yang terdiri dari sepuluh bandar.
5.      Suku Barat dengan Kepala Suku Ketek yang memimpin masyarakat yang berasal dari Selatan dan Tenggara seperti Palembang,Bugis,Bengkulu dan Indopuro.

Keberadaan suku-suku ini digambarkan dalam Adat Istiadat yang dinamakan “ Saok Limo “ yaitu peralatan makanan yang disuguhkan kepada Marapulai ( Pengantin laki-laki ) yang ditaruh diatas dulang dan ditutup dengan tudung saji. Sedangkan dibagian umum atau luar di lambangkan dalam “ Paragat Tujuoh “ yang merupakan bendera 5 suku ditambah dengan bendera Kerajaan yang terbuat dari kulit kayu ipuh yang dicencang dan satu lagi adalah bendera Merah Putih. Betapa besarnya hasrat Kemerdekaan itu, dimana pada setiap dilaksana kann medirikan rumah, pada setiap pertemuan tonggak dengan jerejak dan bandul selalu di buat cabikan kain merah putih sebagai alas pertemuan perkakas kayu perumahan tersebut.
Dalam ruang Seni Budaya juga diadakan hasrat kemerdekaan itu dalam irama Arak Patang Marapulai, bersama suguhan gosokan biola peninggalan alat musik Portugis itu dilantunkan irama lagu-lagu perjuangan seperti lagu Maju Tak gentar, dari Sanag sampai Merauke, Indone sia Raya dan lainnya.
Sangat pantas sekali kita mengenang BS Farmansyah Sutan Botok yang tewas ditembak senapang serdadu oleh seorang yang berasal dari Ambon ketika beliau menaik kan bendera Merah Putih yang kini tinggal peninggalan kenangannya yaitu Tugu Proklamasi Kemerdekaan.



Kemudian pada tahun 1720, pindah Mangaraja Uhum dari Mandailing ke Ranah Nata. Sewaktu rombongan Mangaraja Uhum istirahat di Tor Pangolat,mereka melihat suatu pemandangan “ yang indah “ yang dalam bahasa Mandailing disebut “ Natar.. “.
Sesampainya ke Ranah Nata merekapun menyebutnya “ Natarida “ yang berarti yang indah atau yang tampak itu. Sebenar nya nama Natar itu adalah sebuah tempat yang ada di Lampung Selatan yang berarti ladang atau tanah datar sebagaimana yang ditulis oleh Drs.P.Wayong dalam bukunya Nama dan Geog rafis / Toponym yang dinamakan oleh Gele Haroen.
Pada tahun 1760, Sutan Baginda Martia Lelo mengadakan perjanjian dengan VOC di Ranah Nata yang dihadiri oleh Abraham Moashell ( Resident Nias ) yang disusul dengan masuknya bangsa Inggeris untuk kesekian kalinya pada tahun 1762, dan saat inipun mereka memper kuat nama Natal untuk Ranah Nata dan sekaligus membuat peta Ranah Nata dalam Lintang Utara 32” 30” dan Bujur Timur 99”  5”.
Pada saat inilah kolonial menguras rempah-remaph dari Ranah Nata termasuk lada di perkebunan lada Taluk Balai. Pada tahun ini juga saat datangnya Tuanku Rao dengan mengadakan Rapat Raksasa antara Minangkabau dengan Aceh untuk mengusir kaum penjajah dari Ranah Nata yang dibantu oleh pasukan laksmana Langkap dari Bugis. Kesepakatan Sulthan Alauddin Djoharsjah dengan Tuanku Rao dalam pengusiran penjajah sehingga berakhirnya sistem Pemerintahan Kerajaan.
Selanjutnya lahir seorang lagi calon Ulama Terkemuka Sumatera Utara, Syekh Abdul Fattah Mardia di Perlak Talas Kampung Sawah yang orangtuanya berasal dari Muaramais.
Adapun pemakaman beliau terdapat di Pagaran Sigatal Panyabungan, sedangkan pemakaman keluarganya termasuk isteri beliau di puncak Bukik Banjar Aceh, sekitar 100 meter dari Sumur Batu.

Sebelum berakhirnya masa Kerajaan, pada tahun 1823 Ranah Nata masuk Residensi Tapanuli Selatan. Pada akhir-akhir masa Kerajaan , Sutan Muhammad Nata dibuang ke Sibolga (sebenar nya Siboga)  kemudian masuklah dalam pemerintahan Noordelijk Afdeeling nd Wester n Kust Sumatera yang diperintahi oleh Posthouder A.H.In’tveld dan ditahun 1831 menjadi pemerinta han Civil & Militer yang diperintahi oleh Asisten Letnan Dresse.
Tahun 1833, a.n.Federation Mandailing, Radja Gadombang datang ke Ranah Nata untuk me minta Belanda meninggalkan Ranah Nata dan masuk ND Air Bangis pada tahun 1837 yang di perintahi oleh seorang kontler. Empat tahun kemudian dibukalah jalan dengan pembangunan yang diawasi oleh J.A.Godon dan kemudian Ranah Nata dipimpin oleh Tuanku Sutan Salim. Pada waktu inilah Edward Douwwes Dekker menjadi kontler di Ranah Nata sehingga terjadi dua kepemimpinan, kemudian Ranah Nata berobah dan masuk ND Resident Tapanuli hingga tahun 1906. Kemudian pada tahun 1855, Sutan Muhammad Shaleh menjadi Tuanku Ranah Nata yang ke – 10 hingga tahun 1876.
Pada masa inilah Syekh Abdul Malik Baleo Nata pergi naik haji ke Mekkah, AW van Ophuysen si pengarang bahasa Indonesia itu menjadi kontler di Ranah Nata dan pada tahun 1862, Willem Iskandar bersama Jellinghaus ( resident Mandailing Angkola) datang bermalam di Rumah Gadang Ranah Nata.
Tahun 1864 , WR Devidson membangun Tangsi Hitam yang kini telah berobah menjadi Rutan Natal, dan pada tahun 1886 seorang berkebangsaan India yang bernama Ahmeed Sharkani bersama Si Tiuk memperagakan tarian daerah Ranah Nata dalam pelantikan Raja ke-11 Tuanku Muhammad Arif gelar Tuanku Pansiun.
Pada tahun ini mulailah munculnya beberapa Seni Tradisional Dendang Asli (Sentra Deli ), baik Seni Tari Ranah Nata (Sentana) maupun Seni Lagu Daerah Pesisir Nata  (Selada Pesta). Dalam Sentana diperagakan tari Bungkuy, Barampek,Payung,Salendang,Pirieng dan Inai, sedangkan dalam Selada Pesta dilantunkan lagu lagu Sikambang,Sagu Jauo,Perak-perak,Simambang,Sarunei Aceh,Pulo Pinang dan Sinandong. Pada tahun 1907, Ranah Nata masuk Afdelling Natal Batangnatal cap Natal dibawah pimpinan GF Schuten dan tahun 1911 berdiri Sekolah Polisi Pertama di Sumatera yang sekarang menjadi SD Negeri No.142704 Natal. Kemudian pada tahun 1921 berdirilah Djamijatul Chairijah dengan Madrasahnya “ Soeboehoel Chair “ yang kemudian berganti nama Madrasah Budi Bahagia, kemudian Madrasah Raudhatul Ilmiyah (saat penulis belajar) dan kini menjadi Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah 20 Natal yang pada saat itu, Ranah Nata diperintahi oleh Demang Baginda Indang Sabalaon yang mempimpin sampai tahun 1923.

Pada tahun ini juga berdiri kongsi dendang “ Nata Saiyo “ dibawah pimpinan Amin Gapuok dengan mendiri kan sebuah Taman sebagai tempat latihan menari dan berdendang. Kemudian pada tahun 1925 , Ranah Nata diperintahi oleh Demang Ali Hanafiah dan tahun 1930, Ranah Nata masuk Ofdelling Natal batangnatal cap Natal, Afdelling Padangsidimpaun dengan kontler WD Centher L.Fontijne dan pada saat itu pulan Sutan Muhammad Amin (nenek Sutan Takdir Alisjahana) dibuang ke Bengkulu. Tahun 1937, Ranah Nata masuk Ofdelling Natal Batang natal  cap Kotanopan dengan  kontler DM Hottelle.
Kemudian pada tahun 1938, Muhammadiyah berdiri di Ranah Nata dengan kepemimpinan Tuanku mudo, BS Farmansyah Sutan Botok, Sutan khalifah, Matnasin Rabun dan Sutan Chaidir (Dewan Nagari Nata). Selanjutnya pada tahun 1939 menjadi sistem kuria (Kedewanan) dan Dewan Negeri dipegang oleh Tuanku Mudo Hidayatsyah.

Pada tahun ini Ranah Nata menjadi beberapa Kedewanan yaitu Nata, Batahan ,Singkuang,Muarasoma,Aek Nangali dan Lingga bayu. Pada tahun 1942 sampai dengan tahun Kemerdekaan Republik Indonesia diperintahi oleh Gun Shai Bun yaitu Sodsida dan Nakasinji.
Dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh  Soekarno – Hatta , maka Ranah Nata dipimpin oleh Asisten Wedana antara lain H. Syariful Alamsyah (1946), H.Bardansyah (1948). Pada masa ini yaitu tahun 1949, Mayjen Sutan Nur Alamsyah meninggalkan Ranah Nata sesudah mendirikan Dewan Pertahanan yang diketuainya dengan wakil Sutan Oesman Sri Dewa, Tengku Zainal Abidin Tasya dan Tayamuddin dan penasehatnya adalah H.Abdul Aziz dan Taufiq Dahlan.
Pada tahun ini juga Tuanku Sutan Sri Dewa bersama Brigjen Syofyan Juned berlayar mengharungi Samudera Hindia ke Pulai Nias untuk mencari perbekalan. Pada tahun 1950 , Ranah Nata masuk Kabupaten Tapanuli Selatan.
Kemudian Asisten Wedana dipegang oleh M. Sakti Hasayangan (1953).
Sebagai hidangan dalam Taplak kami tuliskan beberapa hidangan tulisan tentang Fakta Sejarah , Pendekar Ranah , Peninggalan Sejarah, Masakan Tradisional dan Seni Tradisional Dendang Asli  Ranah Nata

Sumber Bacaan :

No
Judul Buku
Pengarang
Tahun
01
A Discriptive of Ned Indies
Jhon Crawfurd
1856
02
Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao
DR.Hamka
1974
03
Binjek
Shaff Ra Alisyahbana
2000
04
Encyclopedia van Ned Indie
W .Marsden
1874
05
Greget Tuanku Rao
Drs.Basyral Hamidi Hrp.
2001
06
Handbook to North Sumatera Indonesia
Mahmud Bangkaru
2001
07
Indonesiana
Majalah Tempo
1984
08
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Depdikbud Jakarta
2000
09
Madina  nan Madani
Drs.Basyral Hamidy Hrp.
2004
10
Max Havelaar
Multatuli/HB Jassin
1985
11
Nama dan Geografis / Toponym
P.Wayong
-
12
Natal , Ranah nan data
Hj.Puti Balkis Alisyahbana
-
13
Perihal Bangsa Batak
E.St.Harahap
1960
14
Qamus Idris al - Marbawiy
Syekh M.Idris M.Azhary
-
15
Sedjarah Indonesia 2
Sanusi Pane
1956
16
Sejarah Ranah Nata
Shaff Ra Alisyahbana
1992
17
Sejarah Ulama Terkemuka Su.Utara
IAIN Sumut
1974
18
Taman Ranah
Shaff Ra Alisyahbana
1999
19
Tas Pesta
Shaff Ra Alisyahbana
2008
20
Tuanku Imam Bonjol
Drs.Mardjani Martamin
1985
21
Tuanku Rao
M. Onggang Parlindungan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar